Istilah obat tradisional
mungkin sudah tidak asing lagi di telinga anda. Sebagai bangsa Indonesia, penggunaan obat tradisional di Indonesia telah
dilakukan oleh nenek moyang sejak berabad-abad yang lalu terbukti dari adanya
naskah lama pada berbagai lontar diberbagai daerah di Indonesia misalkan pada
Usada (Bali). Adanya konsep back to nature
maka perkembangan obat tradisional menjadi lebih pesat. Hal tersebut diperkuat
dari rekomendasi WHO dalam penggunaan obat tradisional termasuk herbal untuk
pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama
untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. Penggunaan obat
tradisional secara tepat dikatakan memiliki efek samping yang lebih sedikit
(lebih aman) jika dibandingan dengan bahan kimia obat (Sari, 2006).
Dibandingkan obat-obat
modern, obat tradisional juga memiliki beberapa kelebihan, antara lain: efek
sampingnya relatif rendah jika digunakan dengan tepat, baik takaran, waktu dan
cara penggunaan, pemilihan bahan serta kesesuaian dengan indikasi tertentu,
dalam suatu ramuan dengan komponen berbeda memiliki efek saling mendukung, pada
satu tanaman memiliki lebih dari satu efek farmakologi serta lebih sesuai untuk
penyakit-penyakit metabolik dan degeneratif (Katno dan Pramono, 2006).
Disamping berbagai
kelebihan, bahan obat alam juga memiliki beberapa kelemahan yang juga merupakan
kendala dalam pengembangan obat tradisional (termasuk dalam upaya agar bisa
diterima pada pelayanan kesehatan formal). Adapun beberapa kelemahan tersebut
antara lain: khasiatnya lebih lemah dibandingkan obat kimia, bahan baku belum
terstandar, belum dilakukan uji klinik dan mudah tercemar berbagai jenis
mikroorganisme (Katno dan Pramono, 2006).
Lalu, apakah dibayangan
anda, obat tradisional tersebut hanya berupa daun yang direbus atau sejenisnya?
Ataukah jamu-jamuan yang biasa dijajakan oleh tukang jamu gendong? Sebenarnya,
obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan
tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman (BPOM, 2005). Obat tradisional atau obat yang berasal
dari bahan-bahan alami tersebut kini sudah mulai berkembang. Di indonesia
sendiri, kita mengenal 3 penggolongan obat tradisional. Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian
khasiat, Obat Bahan Alam Indonesia dikelompokkan menjadi jamu, obat herbal terstandar,
dan fitofarmaka (BPOM, 2004). Lalu apa sebenarnya perbedaan ketiga obat
tradisional tersebut?
Jamu merupakan obat
tradisional indonesia yang klaim khasiatnya terbukti berdasarkan pengalaman
atau empiris. Jadi, khasiat jamu sebenarnya sudah diketahui dari nenek moyang
kita. Akan tetapi, obat tradisional yang tergolong jamu belum melalui uji-uji
ilmiah dan kebenarannya belum didukung oleh data ilmiah (BPOM, 2004). Contoh
jamu, misalnya jamu yang diracik oleh tukang jamu gendong. Selain jamu racikan,
seperti jamu gendong, kini banyak jamu yang dikemas dalam kemasan modern
seperti dalam bentuk kapsul maupun tablet.
Obat tradisional yang
kedua adalah obat herbal terstandar (OHT). OHT merupakan obat bahan alam
yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji
praklinik dan bahan bakunya telah distandardisasi. Uji praklinik merupakan uji yang telah dilakukan pada hewan (BPOM, 2005).
Jadi OHT telah teruji manfaat dan keamanannya secara ilmiah melalui pengujian
pada hewan. Selain itu bahan baku yang terstandarisasi ini diartikan sebagai
penggunaan bahan baku yang telah terkontrol, baik dari proses penanamannya
hingga pemanenannya, sehingga mutu dan keamanannya dapat dikontrol. Di Indonesia
sendiri, telah beredar beberapa OHT, seperti berikut.
Obat tradisional yang ketiga adalah fitofarmaka. Berbeda dengan jamu dan
OHT, fitofarmaka merupakan level tertinggi dari obat tradisional. Fitofarmaka merupakan
obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah
dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di
standarisasi (BPOM, 2005). Apabila OHT hanya mengalami tahap uji praklinik (uji
pada hewan), fitofarmaka telah terbukti secara klinis dengan pengujian kepada
manusia. Jadi, obat ini telah teruji keamanan dan khasiatnya pada manusia.
Selain itu, bahan baku pembuatannya juga dikontrol seperti pada OHT, tetapi
berbeda dengan OHT, fitofarmaka juga mengalami standarisasi untuk produk
jadinya. Karena membutuhkan pengujian
laboratorium yang lebih banyak dan panjang, maka hanya baru 5 jenis fitofarmaka
yang kita kenal di indonesia. Berikut merupakan contohnya.
Lalu, bagaimana kita mengenali jamu, OHT, atau fitofarmaka ketika akan
membelinya? Anda tidak usah khawatir, karena obat tradisional akan diberi logo
sesuai jenisnya. Logo jamu, OHT, dan fitofarmaka adalah sebagai berikut
Jadi, kini kita tidah hanya bisa mendapatkan manfaat obat tradisional
yang telah terbukti khasiatnya secara turun temurun, tetapi juga kita bisa
mendapatkan manfaat obat tradisional dengan kualitas yang lebih baik, seperti
pada OHT dan Fitofarmaka.
DAFTAR PUSTAKA
BPOM. 2004. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan
Makanan Republik Indonesia Nomor : Hk.00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pokok
Pengelompokan Dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia. Jakarta: Depkes RI.
BPOM. 2005. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan
Makanan Republik Indonesia Nomor : Hk.00.05.41.1384 Tentang Kriteria Dan Tata
Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar Dan Fitofarmaka.
Jakarta: Depkes RI.
Katno dan Pramono S.
2006. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Yogyakarta : Balai Penelitian
Tanaman Obat Tawangmangu Dan Fakultas Farmasi UGM. Hal 1-14.
Sari, L. O. R. K. 2006. Pemanfaatan Obat Tradisional Dengan Pertimbangan Manfaat dan
Keamanannya. Jember: Ps Farmasi Universitas Jember. Hal 2-3
0 komentar:
Posting Komentar